Momentum Maulid, refleksi kehidupan dalam tafsir surat Al-anfal ayat 33

Holy book Quran and rosary beads on dark background

Kajian Selepas Subuh oleh K.H. Tatang Astarudin

Pondok Pesantren Mahasiswa Universal—Ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad tidak terbatas pada seremoni megah saat perayaan maulid, ia harus hadir dalam ruang-ruang sunyi yang penuh refleksi. Representasi mencintai, juga tidak hanya berfokus pada suara lantang saat pembacaan syair pujian, namun tampak sebagai wajah kebaikan untuk menghormati nabi sebagai sosok mulia yang dicintai.

Nabi Muhammad merupakan sosok sempurna yang penuh dengan keteladanan, Hasan bin Tsabit suatu ketika memuji Nabi dalam potongan bait syairnya yang berbunyi:

خُلِقتَ مُبَرَّأً مِن كُلِّ عَيْبٍ كَأَنّكَ قَدْ خُلِقتَ كَمَا تَشَاءُ

Engkau diciptakan bersih dari segala cacat, seakan sesuai kehendakmu engkau diciptakan

Pada peringatan maulid nabi kali ini, Abi Tatang menyampaikan nasihat berupa refleksi maulid nabi dengan mengambil tafsir Al-quran Surat Al-anfal ayat 33, Dimana, Berdasarkan ayat ini terdapat dua indikator seseorang dapat terjauh dari Azab Allah

Menghadapi Dinamika Kehidupan dengan Kehadiran Nabi Muhammad saw.

“Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama engkau (Nabi Muhammad) berada di antara mereka” (8:33) 

Dalam konteks ini, kita tidak membatasi arti hadir dengan keberadaan fisik, namun memberikanya makna yang lebih luas berupa akhlaknya yang hidup di setiap jiwa umatnya serta perjalanan dakwahnya yang terus berlanjut meski raganya tak lagi membersamai. Kebijaksanaan, kesederhanaan, serta nilai-nilai yang ia bawa adalah ruh yang harus tetap hidup.

Maka, menghadirkan nabi berarti berusaha untuk mengikuti sunnah-sunnah yang telah diajarkan sebagai bukti mencintainya, Abi menjelaskan, bahwa dalam teori sibernetik kita adalah cerminan dari apa yang berada dalam pikiran kita, “kehendakmu akan sama seperti yang kamu pikirkan, dan yang kamu pikirkan semestinya menuntun gerakanmu, jika yang kamu cintai Adalah nabi, maka gerak tutur kita akan meniru sebagaimana nabi,” ungkapnya.

Perihal mencintai, realitas modern menunjukkan bahwa mencintai lebih dari sekadar ungkapan perasaan, ia perlu bukti melalui tindakan dan langkah yang eksplisit. Hal yang paling krusial bagi setiap umatnya adalah mengkaji hadits haditsnya serta memperbanyak bershalawat kepadanya. Bahkan dalam salah satu Riwayat dikatakan “Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda: “Tidak seorang pun mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku untuk menjawab salam orang tersebut” (HR. Abu Dawud)

Representasi dari mencintai Nabi Muhammad telah banyak ditunjukkan oleh para ulama, salah satunya datang dari seorang Imam Malik bin Hambal yang merupakan salah satu di antara empat imam madzhab. Sebuah Tindakan sederhana namun menunjukkan rasa cintanya yang begitu dalam. Dimana, banyak hikayat menyatakan, Imam Malik memiliki kebiasaaan mengajukan pertanyaan terhadap siapapun yang mengunjunginya, jika tujuannya hendak bertanya perihal hadits, maka beliau akan memakai minyak wangi terlebih dahulu.

Tindakan sederhana namun syarat makna tersebut didasari oleh kebiasaan nabi yang amat menyukai wewangian. Hal tersebut merupakan ekspresi dari rasa cinta yang dalam. Bahkan, dalam hikayat lain Imam malik tidak pernah menunggangi kuda ketika ia berada di tanah madinah sebagai bentuk penghormatan, “Saya malu kepada Allah jika nanti kaki hewan tunggangan saya menginjak tanah yang di sana Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam dikebumikan.”

Menelaah lebih dalam Peran Istighfar dan Shalawat

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampunan,” (8.33)

Indikator yang kedua Adalah senantiasa memohon ampunan kepada-Nya. Istighfar merupakan kalimat ratapan dan media evaluasi, sebuah proses kehidupan yang harus berkelanjutan, karena setiap tindakan dan waktu yang kita lewati berpeluang menimbulkan dosa, baik sengaja maupun tidak disengaja.

Tidak hanya menjadikan istighfar sebagai ritual penyesalan setelah mendapatkan tragedi yang tidak mengenakkan, istighfar harus terus hidup sebagai kalimat yang terucap dan pemikiran kritis dalam introspeksi diri yang mendalam, sebagai penyelarasan antara perkembangan dinamika kehidupan dan ritme pesantren, Universal memiliki sebuah tradisi yang mencakup Tafakkur, Tazakkur bepikir kritis, mengamati dan meneliti; Mengambil pelajaran dari berbagai fenomena dan kejadian.

Lebih lanjut, terdapat korelasi antara shalawat dan istighfar sebagai kalimat-kalimat tirakat. Tirakat berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti jalan, istilah tirakat biasanya ditemukan dalam tradisi pesantren sebagai praktik spiritual atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Sebagai penutup, Abi menegaskan peran tirakat sebagai pusaka andalan untuk mencapai suatu hajat tertentu. Beliau juga menyebut bahwa tirakat merupakan dasar atas permintaan kita kepada Allah, tanpa menepikan Allah sebagai Arrahman, “tirakat adalah dasar kita dalam memohon sesuatu, tanpa tirakat saja Allah memberi, apalagi diiringi dengan tirakat,” pungkasnya.

Penulis: Kamelia Syifa Aulya