Oleh: Muhamad Seha
PPMU, 10 Muharram – Lampu-lampu di langit-langit majlis menyala terang, menerangi wajah-wajah santri yang duduk bersaf dengan khidmat. Suasana malam itu tak biasa. Bukan sekadar pengajian rutin, tetapi sebuah momen penghormatan, yakni peringatan haul almarhumah Hj. Umaerah Binti Kyai Husen, ibunda tercinta dari KH. Tatang Astarudin, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU).
Haul ini digelar bertepatan dengan tanggal 10 Muharram. Hari yang memiliki makna mendalam bagi keluarga besar PPMU. Bagi warga Gumulung, almarhumah dikenal dengan sapaan “Bu Haji Um”. Namun bagi keluarga, ia lebih akrab dipanggil dengan penuh kehangatan sebagai Mimi, Amih, atau Mide.
Pada Malam itu, doa-doa mengalir dari lisan para santri. Ayat-ayat suci dilantunkan penuh kekhusyukan. Di tengah suasana hening, Ibu Nyai Farida Mardiawati yang merupakan istri dari KH. Tatang Astarudin memberikan wejangan menyentuh, mengenang kiprah dan keteladanan almarhumah yang hingga kini masih hidup dalam ingatan banyak orang.
“Haul ini bukan sekadar mendoakan, tapi juga mengenang dan meneladani kebaikan beliau,” tutur Umi Farida. “Kita sebagai keturunannya harus melanjutkan amal baiknya. Itu bentuk bakti yang sesungguhnya.”
Jejak Kebaikan yang Tak Luntur oleh Waktu
Salah satu tradisi yang selalu dilakukan almarhumah setiap 10 Muharram adalah membagikan “paket sederhana” kepada anak-anak yatim berupa nasi kuning, makanan kesukaan anak-anak, dan amplop kecil berisi uang. Anak-anak dari berbagai dusun berkumpul di halaman rumahnya. Tak hanya yatim, kadang anak-anak biasa pun turut merasakan kasih sayang beliau.
“Sambil membagikan bingkisan, Mimi mengusap kepala mereka, membisikkan kata-kata. Mereka bahagia, kami bahagia, dan Mimi pun bahagia,” kenang KH. Tatang dalam pengajian beberapa hari yang lalu.
Tradisi itu tetap dilakukan bahkan saat almarhumah dalam kondisi sakit. Dengan suara terbata-bata, beliau sempat meminta agar ritual tahunan itu tetap dilanjutkan, bahkan meminta anak-anaknya mulai mengumpulkan donasi. Namun takdir berkata lain. Pada Selasa, 10 Muharram 1441 H (10 September 2019), selepas dzuhur, almarhumah Hj. Umaerah wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Kepedulian Sosial Tanpa Batas
Semasa hidupnya, almarhumah dikenal sangat peduli terhadap sesama. Tak jarang beliau lebih mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan anak-anaknya sendiri. Bersama suaminya, mereka kerap menjadi tempat orang-orang yang kesulitan ekonomi datang meminta bantuan. Bahkan uang pensiun mendiang suami lebih sering dipakai untuk membantu orang lain ketimbang kebutuhan pribadi.
Beliau pun tak tega membiarkan pedagang lewat tanpa membeli dagangannya, dan tetap bersahaja meski menjadi istri seorang pejuang. Sawah tetap digarap, bukan demi hasil besar, tapi demi memberi pekerjaan pada tetangga dan kerabat. Dalam wejangannya, Umi Farida juga menyentil soal tugas istri:
“Tugas istri itu menjaga nama baik suami dan menjaga hartanya. Bukan berarti nyapu, nyuci, masak, lalu mengeluh, padahal semua itu bukan kewajiban mutlak. Jika dilakukan dengan ikhlas, justru pahalanya luar biasa,” tegasnya.
Kebaikan yang Berkelanjutan
Haul ini menjadi cermin bagi para santri bahwa keteladanan bukan hanya dari kitab, tapi juga dari laku hidup. Dari sosok seperti Bu Haji Um, nilai-nilai keikhlasan, empati, dan kepedulian hidup dan terus mengalir.
“Kami bisikkan pada beliau saat itu bahwa santunan sudah dibagikan. Kami bisikkan talqin. Dan kami bisikkan pada hati kami, bahwa tradisi itu akan kami lanjutkan. Insya Allah,” tutur KH. Tatang dalam kenangan terakhirnya pada sang ibunda.
Kini, haul bukan hanya menjadi ritual tahunan, tapi juga pengingat abadi bahwa kebaikan sejati tak pernah mati. Dari sosok Mimi, Amih, Mide kita belajar bahwa hidup yang penuh makna bukanlah tentang apa yang kita miliki, melainkan tentang seberapa banyak kita memberi dan peduli. Semoga nilai-nilai itu terus hidup dan tumbuh, menjelma dalam tindakan nyata para santri, keluarga, dan seluruh pewaris kebaikannya.