oleh: Muhamad Seha
Santri itu bukan hanya mereka yang hadir di majelis ngaji, tetapi juga mereka yang hidup bersama ilmu bahkan ketika lampu kobong telah padam. Kalimat ini menggambarkan satu realitas bahwa kobong bukan sekadar tempat beristirahat bagi para santri, tetapi seharusnya menjadi pusat pergerakan ilmu dan pembentukan karakter. Namun realitasnya, kobong hari ini sering kali kehilangan ruhnya. Banyak santri yang menjadikan kobong hanya sebagai tempat tidur, bukan tempat tumbuh. Dari sinilah muncul satu gagasan revolusi kobong.
Secara sederhana, kobong adalah kamar santri di pesantren, tempat di mana mereka tinggal, beristirahat, belajar secara informal, dan menjalin kehidupan sosial bersama. Kobong bisa berbentuk kamar sederhana berisi beberapa orang santri, atau bahkan bangunan besar berlantai-lantai di pesantren modern. Dalam tradisi pesantren klasik, kobong adalah tempat santri menempa diri di luar waktu formal ngaji, belajar mandiri, menghafal matan, berdiskusi kitab, atau menulis catatan pelajaran. Namun di era digital dan arus instan sekarang ini, fungsi kobong perlahan memudar menjadi sekadar tempat tidur.
Kobong: Ruang yang Menanti DihidupkanRevolusi kobong lahir dari keprihatinan akan hilangnya gairah belajar santri di ruang privat mereka. Ketika kobong hanya menjadi tempat leyeh-leyeh dan rebahan, maka pesantren kehilangan satu kekuatan utama: budaya belajar yang mengakar. Padahal, di sanalah sebenarnya letak pendidikan karakter dan intelektual yang autentik. Kobong adalah miniatur kehidupan. Di situlah santri belajar mengatur waktu, memimpin teman, menjaga kebersihan, berdiskusi, dan mengasah rasa tanggung jawab.
Menghidupkan kobong berarti mengembalikan kobong sebagai pusat kegiatan keilmuan dan pembentukan jiwa kepemimpinan. Santri tidak hanya belajar di majelis ngaji, tetapi juga di dalam kobong dalam bentuk membaca, menulis, berdiskusi, dan bertumbuh. Revolusi kobong adalah proyek perubahan kultural agar kobong tidak mati secara intelektual (stagnasi intelektual).
Fondasi Semangat Belajar dalam IslamIslam meletakkan ilmu sebagai pondasi utama peradaban. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw bukan perintah untuk beribadah atau berjihad, melainkan “Iqra’” artinya bacalah. Ini menunjukkan bahwa belajar, mencari ilmu, dan mencintai pengetahuan adalah ibadah utama dalam Islam. Rasulullah SAW juga bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, No. 2699).
Dengan demikian, semangat belajar bukan sekadar tugas santri sebagai murid, tapi panggilan spiritual sebagai hamba. Ketika kobong menjadi ruang pasif, maka ruh keilmuan Islam itu tertahan. Oleh karrna itu, diperlukan ikhtiar untuk menghidupkannya kembali dengan semangat pembaruan.
Revolusi Kobong sebagai Transformasi KulturalRevolusi kobong bukan sekadar merombak struktur atau jadwal, tapi menciptakan budaya baru di dalam kehidupan santri. Dimulai dari hal kecil seperti pembiasaan membaca buku sebelum tidur, diskusi mingguan antar kamar, menyusun catatan belajar bersama, hingga proyek kolaboratif seperti menulis buletin kobong atau menerjemahkan kitab kuning.
Perubahan ini menuntut penerapan konsep triple helix yakni kolaborasi antara santri, ustaz, dan pengurus pesantren. Kobong harus menjadi tempat tumbuhnya iklim ilmiah dan iklim adab. Setiap kamar bisa menjadi ruang belajar aktif: ada jadwal belajar malam, ada forum presentasi antar teman, ada semangat saling mengingatkan dalam belajar dan berdisiplin. Teknologi pun bisa menjadi pelengkap. Dengan pengawasan dan niat yang lurus, santri dapat menggunakan gawai untuk mengakses e-book, mendengar kajian daring, atau menyusun karya ilmiah. Namun semuanya harus tetap dalam koridor nilai dan adab santri.
Perubahan BertahapTentu tidak mudah mengubah kebiasaan. Salah satu tantangan terbesar adalah rasa nyaman yang melumpuhkan. Banyak santri merasa cukup dengan rutinitas formal, tanpa ada dorongan untuk berkembang lebih dalam. Revolusi kobong hadir untuk membongkar zona nyaman itu.
Perubahan tidak harus dimulai dari yang besar. Cukuplah satu kamar, satu kelompok kecil santri, satu inisiatif kecil namun jika dilakukan konsisten, maka kobong akan berubah. Dari kobong yang tadinya hening tanpa semangat, menjadi kobong yang hidup dengan ruh ilmu dan semangat berkarya.
Revolusi kobong bukan utopia. Ia adalah ajakan konkret untuk kembali menghidupkan kobong sebagai jantung pendidikan pesantren. Ketika kobong telah berubah menjadi ruang belajar sejati, maka pesantren akan melahirkan generasi santri yang tak hanya taat secara spiritual, tetapi juga tajam dalam berpikir dan matang dalam bertindak. Dari kobong yang sederhana, akan lahir pemimpin besar yang membawa perubahan.