Oleh: K.H. Tatang Astarudin
Menurut sebagian ulama, ada tiga jenis “panggilan” Allah subhanahu wa ta’ala kepada manusia. Ada panggilan “khusus” kepada orang-orang beriman, ada panggilan umum kepada semua manusia.
Pertama, panggilan azan untuk melaksanakan Shalat. Panggilan ini sangat penting, karena shalat adalah salah satu ibadah penting dalam Islam. Ia menjadi penanda ketakwaan dan pembeda ke-Islaman seseorang. Ia juga menjadi “Tiang Agama”, penopang dan sumber kekuatan Islam dan umatnya.
Orang yang bermalas-masalan dan menunda-nunda Shalat tanpa “udzur” dan alasan yang dibenarkan, atau mengerjakannya tidak- sesuai ketentuan, dan lalai akan tujuan pelaksanaanya, dikategorikan sebagai “Pendusta Agama” yang akan binasa dan celaka (Lihat: Q.S. Al-Maun ayat 1-7)
Shalat adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam Azan dan Iqamat, panggilan Shalat digandengkan dengan al-Falah, “hayya ala al-falah”—mari menuju “kemenangan”. Menurut para Ulama, al-Falah adalah kalimat yang mencakup kebaikan di dunia dan akhirat. Tidak ada kalimat yang lebih mencakup kebaikan di dunia dan akhirat melebihi kalimat al-Falah.
Oleh karena itu, Allah subhanau wa ta’ala menyebutkan ciri-ciri orang yang beruntung, menang, dan bahagia dalam QS. Al-Mu’minun ayat 1-11—diantaranya adalah mereka yang khusyu’ dan senantiasa menjaga Shalat-nya.
Dalam sebuah riwayat, Sahabat Ibnu Abbas (Sepupu Nabi) adalah orang yang sering menangis manakala mendengar panggilan azan. Terkadang baju dan sorbannya basah oleh tetesan air matanya yang terus mengalir mengiringi alunan azan. Karena beliau begitu memaknai dan meresapi setiap kalimat dalam panggilan azan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda dalam sebuah hadits : “Seandainya manusia mengetahui pahala di dalam seruan azan dan shaf yang pertama kemudian mereka tidak menemukannya melainkan mereka akan mengundi (untuk dapat bergiliran mengumandangkan azan dan berada di shaf yang pertama), seandainya mereka mengetahui pahala di dalam menyegerakan shalat di awal waktu, niscaya mereka akan berlomba-lomba padanya, dan seandainya mereka mengetahui pahala di waktu ‘atamah (antara Isya’ dan Shubuh) serta di waktu Shubuh (dengan berjamaah) maka mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR. Bukhari)
**
Kedua, panggilan Haji dan Umrah. Panggilan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah merupakan panggilan yang sudah dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau membangun Ka’bah bersama putranya Nabi Ismail AS, sebagaimana keterangan dalam al-Qur’an: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj 27)
Panggilan tersebut terus bergema hingga kini, karena maknanya begitu ‘istimewa’. Jama’ah Haji dan Umrah adalah “tamu kebesaran” Allah yang akan dikabulkan (setiap) permintaannya, sebagaimana keterangan dalam hadits Jabir RA, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Para jama’ah haji dan umrah adalah tamu kebesaran Allah. Allah panggil mereka dan merekapun memenuhi panggilan Allah. Mereka memohon kepada Allah, dan Allah pun mengabulkan (permintaan) mereka.
Jama’ah Haji dan Umrah juga begitu istimewa, mereka ”disejajarkan” dengan para ”pejuang” sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA: “Seorang yang bertempur di jalan agama Allah, seorang yang berhaji, dan seorang yang berumrah adalah tamu kebesaran Allah. Allah memanggil mereka dan merekapun memenuhi panggilan-Nya, Mereka berdoa kepada Allah, dan Allah pun mengabulkan (permintaan) mereka.”
Keistimewaan lainnya adalah karena ayat perintah Haji dan Umroh diawali dan diakhiri dengan frasa “lillah” (karena Allah), perintah yang “disandarkan” kepada Allah sendiri, misalnya dalam al-Baqarah 196, Allah berfirman:
وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالعُمْرَةَ ِلله
“Dan sempurna kanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali-Imran 97)
Oleh karena itu, siapapun yang melaksanakan ibadah Haji dan Umrah harus didasari niat yang baik dan tulus, semata karena Allah (lillahi ta’ala)—sebagaimana diingatkan dalam bacaan talbiyyah yang disunnahkan diucapkan berulang-ulang oleh para Jamaah haji dan Umah.
لبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
Dalam bacaan Talbiyyah, setidaknya terkandung makna bahwa “jawaban” atas panggilan melaksanakan ibadah Haji dan Umrah semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji manusia—karena segala Puji milik Allah; bukan karena kekayaan yang dimiliki—karena segala nikmat adalah (anugerah) Allah; pun bukan karena kemampuan fisik seseorang—karena segala kekuatan milik Allah.
Panggilan Haji dan Umrah adalah panggilan yang paling diminati. Jutaan kaum Muslimin dari berbagai belahan dunia “antri” untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umrah. Daftar antrian haji reguler di Indonesia saat ini kabarnya mulai 15 hingga 42 tahun. Menurut Biro Pusat Statistik, Jamaah Umrah di Indonesia tembus angka 1,5 juta jamaah setiap tahun.
Panggilan untuk melaksanakan ibadah haji dan Umrah adalah panggilan “universal”. Pada dasarnya setiap Muslim ”terpanggil” untuk melaksanakannya. Hanya ketulusan dan keikhlasan dalam pelaksanaannya yang akan menuntun seseorang untuk mampu membaca diri apakah ibadah Haji dan Umrahnya sebagai “jawaban” atas ”panggilan” Allah atau lebih karena ”panggilan” mewakili “gaya hidup” atau sekedar mengikuti “tren” semata.
****
Ketiga, “panggilan Kematian”.
Panggilan yang paling ditakuti namun tidak mungkin dihindari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS Al-Jumu’ah : 8).
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ۖ ذَٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. (QS. Qaf Ayat 19).
Panggilan kematian tidak dapat ditunda atau dipercepat;
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
“Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan”. (Al-A’raf Ayat 34)
Panggilan yang kadang tanpa tanda dan aba-aba.Ada ungkapan mengatakan, kematian itu “sunyi”, dia datang tanpa tanda dan aba-aba. Namun, kematian adalah “nasihat terbaik”. Kematian adalah nasihat tanpa kata-kata. Rasulullah pernah bersabda: “wa kafa bil mawti wa idzho”, “cukuplah kematian itu sebagai pengingat”. Oleh karena itu, dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺍﻟْﻜَﻴِّﺲُ ﻣَﻦْ ﺩَﺍﻥَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ، ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﺟِﺰُ ﻣَﻦْ ﺃَﺗْﺒَﻊَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻫَﻮَﺍﻫَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻤَﻨَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Orang cerdas adalah orang yang mampu mengevaluasi dirinya dan beramal mencurahkan semua potensi untuk kepentingan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah (bodoh) ialah orang yang mengikuti hawa nafsu, dan berangan-angan kosong (tanpa beramal) kepada Allah” (HR. Tirmidzi).
Imam Al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihyā ‘ulūmiddīn, menyatakan: “berbahagialah mereka yang ketika meninggal, seluruh dosanya ikut mati bersamanya, dan celakalah mereka yang meskipun sudah wafat, namun dosa serta dampak buruk perbuatannya terus mengalir.”
Artinya, jejak yang kita tinggalkan tidak hanya berupa kebaikan, tetapi bisa juga berupa keburukan yang terus memberikan dampak negatif bagi orang lain. Apakah kita akan meninggalkan jejak yang menghadirkan kebahagiaan bagi sesama, atau justru meninggalkan luka dan penderitaan?
Pepatah bijak mengatakan, “Jangan menunda berbuat baik hari ini hingga esok, karena hari esok belum tentu datang untukmu.” Kematian bisa datang kapan saja, tanpa mengenal usia dan kesiapan.
***
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَل الحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَل المَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan penjaga urusan kami, perbaikilah dunia kami yang merupakan tempat hidup kami, perbaikilah akhirat kami yang merupakan tempat kembali kami, dan jadikan kehidupan kami sebagai penambah kebaikan kami serta jadikanlah kematian kami sebagai istirahat kami dari segala keburukan. 🤲🤲
Wallahu’alam
(TA) astarudin@gmail.com
Cappadocia-Ankara 17 Juli 2025