freepik.com
📒 sebuah catatan #tatang astarudin
Imam Al-Ghazali dalam salah satu karyanya “Ayyuhal Walad” yang banyak dikaji di berbagai pesantren mengatakan : أَيُّهَا الْوَلَدُ، بِاللّٰهِ إِنْ تَسِرْ تَرَ الْعَجَائِبَ فِيْ كُلِّ مَنْزِلٍ وَابْذُلْ رُوْحَكَ فَإِنَّ رَأْسَ هٰذَا الْأَمْرِ بَذْلُ الرُّوْحِ …Wahai anakku, demi Allah, apabila kamu mau melakukan perjalanan (spiritual) maka kamu akan melihat “keajaiban-keajaiban” di setiap tempat, dan tanggalkan “ego”-mu karena sesungguhnya esensi dari sebuah perjalanan adalah menanggalkan “ego”…
Ibnu Qudamah al-Maqdisi (541-620 H) seorang ulama sufi dan ahli fikih dari Palestina yang hidup di Damaskus mengatakan, perjalanan dikatakan safar (as-safaru)–safran karena perjalanan akan “menampakkan” perilaku seseorang.
Sebuah perjalanan menyingkap sifat asli manusia dan menampakkan akhlak seseorang. Ketika sedang melakukan perjalanan mengalami kesusahan dan keletihan, namun ia tetap berakhlak baik, tidak egois, maka (dipastikan) ia orang baik. “Jika seseorang dipuji perilakunya ketika tidak melakukan perjalanan dan dipuji perilakunya oleh para teman seperjalanan, maka janganlah ragukan kebaikannya”, kata beliau.
Dengan kata lain, sebuah perjalanan sejatinya adalah ujian dan pembuktian. Apakah dia penyabar, suka menolong, dan berakhlak baik, atau sebaliknya. Maka, tidaklah mengherankan jika–dalam suatu riwayat diceritakan, ketika seseorang “merekomendasikan” temannya kepada Sahabat Umar Ibn Khattab RA untuk memegang jabatan tertentu, sahabat Umar Ibn Khattan RA akan menyelidik dengan memberikan pertanyaan antara lain: “apakah engkau pernah melakukan perjalanan bersamanya? Jika jawabannya “belum pernah’, maka Sahabat Umar akan mengatakan: “engkau belum tahu banyak tentang orang itu”.
Ketika seseorang memutusan untuk melakukan perjalanan, terlebih perjalanan spiritual, seperti Umroh, dipastikan ia akan menemukan berbagai bentuk “keajaiban” dan pengalaman spiritual. Namun, untuk dapat menemukannya, ia harus sekuat tenaga menanggalkan “ego”, ke-aku-annya, kesombongannya. Jika tidak, ia akan menjadi sangat “egois”, cenderung mementingkan diri sendiri, kurang peka terhadap orang lain, sulit menerima kritik, dan merasa paling benar.
Sikap seperti itu, selain dapat mengganggu hubungan sosial, pertemanan dan kekeluargaan, juga sangat jauh dari esensi dan tujuan sebuah perjalanan “spiritual” yang berkaitan dengan pencarian makna, nilai, dan tujuan hidup yang lebih dalam.
Proses pencarian makna tersebut hanya dapat diraih dengan lelaku spiritual antara lain : hidup sederhana, mengendalian diri, saling membantu, saling memberi, dan saling menyayangi.Wallahu’alam
(TA)astarudin@gmail.com Bandara Istanbul (IST)19 Juli 2025