Memaknai kesungguhan dalam kajian kitab ta’limul mutaa’lim oleh k.h. tatang Astarudin

Freepik.com

Pondok Pesantren Mahasiswa Universal— Di bawah langit Bandung yang mulai cerah, sayup-sayup sinar matahari menyelinap masuk ke dalam bilik-bilik ruangan, rintihan doa mengalun menghidupkan suasana damai. Sebagai upaya melestarikan tradisi keilmuan, dalam kajian selepas subuh, K.H. Tatang Astarudin menyampaikan bahwa jalan terjal menuju kemuliaan atau kesuksesan harus dilalui dengan penuh kesungguhan.  Abi— sapaan akrabnya, mengutip syair dari Abu Thayyib Al-Mutanabbi yang termaktub dalam kitab Ta’limul Mutaa’lim,

وَلَمْ أَرَى فِي عُيُوبِ النَّاسِ عَيْبًا كَنَقصِ القَادِرِيْنَ  عَلَى التَمَامِ  

“Aku tidak melihat aib-aib manusia sebagai satu aib, seperti kekurangan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk mencapai kesempurnaan namun mereka tidak melakukannya.”

Abi menekankan kepada para santri sebagai insan yang tengah berjuang untuk mendapatkan ilmu dan mencari rido Allah, sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam artian mengoptimalkan seluruh kemampuan dan kesempatan pada koridor kebaikan yang dalam hal ini tugas santri adalah mencari ilmu agar tidak larut dalam kesenangan duniawi yang penuh kehampaan. Selaras dengan hal itu, Abi mengutip perkataan seorang penyair dari Lebanon, Kahlil Gibran, yang berbunyi “Orang yang mematikan potensi dalam dirinya ia adalah kafir di mata Tuhan.”

Kafir disini bukan berarti mendeklarasikan diri keluar dari agama islam. Menurut tinjauan linguistik, Louis Makluf menyebut kafir berarti menutupi atau menyembunyikan. Dalam konteks ini kafir berarti menutup diri dari nikmat yang telah Tuhan anugerahkan berupa kemampuan serta kesempatan mengembangkan diri dan mencari ilmu. Memelihara sikap malas, menyia-nyiakan kesempatan baik, dan jauh dari ruang spiritual adalah jalan menuju terrealisasinya penyesalan.

Lebih lanjut, dalam Al-quran Allah telah memberi peringatan bagaimana seharusnya manusia bersikap atas segala nikmat yang telah dianugerahkan, tepatnya dalam surah Ibrahim ayat 7

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ  ۝

(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”

Bersungguh-sungguh pada setiap perjalanan menuju cita-cita diiringi dengan doa merupakan wajah dari rasa syukur atas nikmat-Nya. Bahkan, ayat di atas memberikan peringatan terhadap mereka yang kufur atas nikmat Allah bahwa azab-Nya amatlah pedih. Maka dari itu,  kesempatan menjadi pelajar mesti dioptimalkan dengan penuh strategi dan kebijakan. Bijak memilih dan memilah, tidak serta merta melakukan setiap hal yang didasari oleh tindakan mayoritas tanpa mempertimbangkan baik dan buruk dampak akhirnya.

Nabi Muhammad saw, telah memberikan teladan bahwa keberhasilan perlu dijemput dengan usaha yang serius. Perihal ini, Abi menyampaikan empat kunci keberhasilan Pembangunan Masyarakat versi nabi Muhammad saw, diantaranya; Tebarkan kedamaian, saling memberi makanan (sedekah), membangun silaturahmi, dan mendirikan shalat malam. Dimana, realitas menyatakan bahwa keempat hal ini terdengar akrab namun sering kali sukar terlihat sebagai tindakan konkret.

Dalam kitab Ta’limul muta’alim tertulis bait syair yang berbunyi,

وبقدر الكد تُكتسب المعـالي         ومن طلب العلا سهر الليالي 

تروم العـز ثـم تنام ليـلا        يغوص البحر من طلب اللآلي 

“Menurut kadar kesungguhannya, seseorang mendapatkan kemuliaan, maka barang siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan, hendaknya begadang malam.”                                                                                     

“Anda ingin mulia, kemudian anda tidur malam, padahal siapa yang ingin mendapatkan perhiasan, dia harus berani menyelam ke dalam lautan “

Bait syair yang seolah memukul halus bahwa hasil akhir yang sempurna perlu dilalui dengan usaha yang penuh kesungguhan, Abi pun menegaskan bahwa representasi kesungguhan seseorang dapat dilihat dari seberapa kokoh ia mendirikan shalat malam di tengah orang lain sedang terlelap disertai rintih tangis dan doa di malam sunyi adalah jalan lantang menuju kemuliaan, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-isra ayat 79.

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا ۝٧٩

Pada sebagian malam lakukanlah salat tahajud sebagai (suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.

Sebagai penutup, Abi mengutip perkataan dari Hasan Al-bisri yang menyebut bahwa “semilir angin ketika dini hari (waktu tahajud) akan membawa ratapan doa dan permohonan ampunan kita kepada sang Al-malikul jabbar.” Maka, kesungguhan tidak hanya bermakna usaha yang penuh darah dan keringat, namun juga air mata yang mengalir dari ratapan doa yang penuh keyakinan kepada pemilik semesta.

Penulis: Kamelia Syifa Aulya