Bandung pagi itu diselimuti cahaya lembut. Langit merekah perlahan, membelah gelap malam dengan sinar mentari yang malu-malu, sementara bumi masih dibelai sunyi. Di tengah ketenangan itu, kajian subuh di Pondok Pesantren Mahasiswa Universal berlangsung khidmat.
Abi Tatang membuka kajian dengan untaian doa penuh kekhusyukan. Lamat-lamat suara santri mengaminkan, menciptakan harmoni damai yang menyejukkan jiwa.
Di tengah dunia yang gaduh oleh ambisi para penguasa—yang kadang duduk gagah di atas rintihan rakyat—Abi Tatang hadir dengan kelembutan. Ia bicara tentang kepemimpinan, bukan sebagai simbol kuasa, tapi sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan tulus dan bijaksana.
“Kunci keberhasilan seorang pemimpin,” katanya, “adalah kemampuan memimpin dirinya sendiri.”
Lalu, dengan tutur yang tenang namun membekas, Abi Tatang menyampaikan beberapa bekal agar kita bisa berubah dan tumbuh menjadi pemimpin yang baik.
*Pahami dan yakini apa yang kamu kerjakan*
Tak cukup sekadar tahu, kita harus paham dan yakin pada jalan yang kita tempuh. Inilah yang disebut sebagai norma subjektif—keyakinan bahwa apa yang kita lakukan punya nilai kebaikan.
*Lingkungan yang mendukung*
Teman seperjalanan sangat menentukan arah. Sebab, sekuat apapun kita melawan arus, perjalanan akan jauh lebih mudah saat mengalir bersama gelombang yang sejalan. Maka Abi pun menambahkan sebuah doa:
اللّٰهُمَّ ارْزُقنا مُعَلِّمَ الصَالِح وصُحْبَةَ الاَخْيَار وَ خِصَالَ الاَطْهَار
Ya Allah, anugerahkanlah kami guru yang saleh, sahabat yang baik, dan lingkungan yang bersih.
*Latihan yang konsisten*
Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino—cinta tumbuh karena terbiasa. Begitu pula kebaikan, ia akan bersemi jika dipelihara dengan istiqamah. Abi mengingatkan:
“Kita hari ini adalah hasil dari apa yang dulu kita tanam. Dan hari ini, adalah investasi bagi masa depan. Tak ada yang benar-benar terpisah antara masa lalu, hari ini, dan esok.”
*Doa yang terus menyertai*
Perjuangan tanpa doa adalah kesombongan, kata Abi. Sebab manusia, dengan segala keterbatasannya, hanyalah pengembara. Allah-lah Sang Pemegang Kendali.
اللّٰهُمَّ ثَبِّتنَا عَلى نَهجِ الاِستِقَامَة
Ya Allah, teguhkanlah kami di jalan istiqamah.
Namun kajian subuh tak berhenti di ceramah semata. Di akhir sesi, Abi membuka ruang bagi para santri untuk menyampaikan pemahaman mereka.
Seorang santri putri mewakili teman-temannya. Dengan sistematis dan penuh percaya diri, ia mengulas kembali isi kajian, lalu menambahkan pandangannya:
“Kalau ingin jadi pemimpin yang bijaksana, ya mulai dulu dari hal kecil. Biasakan yang baik. Ibarat teori fisika, makin besar energi yang dikeluarkan, makin jauh juga perpindahannya.”
Santri-santri lain pun menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Bukan hanya karena jawabannya cerdas, tapi karena kata-katanya meneguhkan semangat.
Di bawah langit Bandung yang mulai terang, semangat untuk menjadi pemimpin yang lebih baik pun tumbuh—perlahan, pasti.