freepik.com
Oleh: Muhamad Seha
Menulis atau ditulis. Satu kata yang menunjukkan makna aktif atau pasif ini membawa tuntutan untuk mempertahankan eksistensi pendidikan. Percepatan arus informasi di era digital telah membawa tantangan baru dalam dunia pendidikan, khususnya bagi kalangan pelajar dan mahasiswa pesantren.
Dalam kondisi sekarang, sangat riskan terpapar
brain rot sehingga kemampuan untuk mengingat suatu hal dalam jangka panjang menjadi sebuah urgensi. Oleh karena itu, tradisi menulis bukan sekadar aktivitas administratif, tetapi merupakan proses kognitif yang fundamental dalam internalisasi ilmu.
Tradisi Klasik: Anjuran Menulis Sebagai Cara Memperkuat Ingatan
Menulis memiliki banyak arti. Mohamad Yunus dalam bukunya yang berjudul “Hakikat menulis” memberikan definisi menulis yakni sebagai aktivitas menuangkan pikiran secara sistematis ke dalam bentuk tertulis. Atau, kegiatan memikirkan, menggali, dan mengembangkan suatu ide dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, jelas bahwa menulis dapat melatih otak dan memperpanjang jangkauan ingatan.
Dalam kitab Minhaajul Muta’alim halaman 87 disebutkan bahwa:
ويجب على المتعلم أن يكون مستفيداً في كل وقت، حتى يحصل له الفضل، وأن
يكون معه في كل وقت محبرة، حتى يكتب ما سمعه من الفوائد.
“Wajib bagi seorang penuntut ilmu untuk mengambil manfaat setiap waktu agar memperoleh keutamaan, dan hendaknya ia membawa wadah tinta setiap waktu agar dapat menuliskan faedah yang ia dengar.”
Narasi tersebut mencerminkan nilai penting menulis dalam tradisi keilmuan Islam. Ulama menekankan bahwa ilmu tidak cukup hanya didengar atau dihafal, melainkan perlu ditulis agar tidak hilang begitu saja. Bahkan, lanjutan redaksi dalam kitab tersebut
yakni :
مَنْ حَفِظَ فَرَّ، وَمَنْ كَتَبَ قَرَّ
(Barang siapa menghafal, ia dapat melupakan; dan barang siapa
menulis, ilmunya akan menetap).
Menulis juga diperintahkan dalam penggalan Surat Al-Baqarah ayat 282, فَاكْتُبُوهُ” Maka tulislah”. Ayat ini memang berbicara dalam konteks muamalah, namun pesan epistemologinya jelas bahwa pencatatan merupakan tindakan preventif (preventative) terhadap kelalaian dan distorsi informasi. Dalam konteks menimba ilmu, pencatatan menjadi cara menjaga
orisinalitas pengetahuan dan tanggung jawab intelektual.
Selain itu, dalam salah satu hadis Nabi disebutkan bahwa:
قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ
“Jagalah ilmu dengan menulis.” (Shahih Al-Jami’, no.4434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini sahih).
Makna dari ungkapan “qayyidul ilma” adalah menguatkan, menghafalkan, serta menjaga ilmu agar tidak terlepas begitu saja. Ilmu yang hanya didengar tanpa dicatat akan sulit menetap dalam ingatan, sebab hati manusia memiliki keterbatasan dalam menyimpan informasi.
Oleh karena itu, mencatat berfungsi sebagai ikatan yang menjaga ilmu tetap lestari. Jika tidak diikat, dan hati kerap lupa, maka ilmu itu sedikit demi sedikit akan lenyap. Inilah mengapa pencatatan menjadi bagian penting dalam proses menuntut ilmu.
Tinjauan Perspektif Kontemporer
Dalam studi pembelajaran kontemporer, teori The Learning Pyramid menunjukkan bahwa menulis dan
mengajarkan ulang merupakan aktivitas dengan tingkat retensi informasi tertinggi. Menurut penelitian Mueller dan Oppenheimer (2014), mencatat dengan tangan mendorong proses kognitif yang lebih dalam dibandingkan mencatat secara digital, sebab menulis mengharuskan individu untuk merangkum, menyusun, dan memahami makna informasi.
Lebih lanjut, studi neuropsikologi oleh Pam A. Mueller juga menegaskan bahwa aktivitas menulis tangan dapat meningkatkan aktivasi pada area hipokampus atau hippocampus, yakni bagian otak yang berperan penting dalam pembentukan dan konsolidasi memori jangka panjang. Hal ini memperkuat argumen bahwa menulis bukan hanya kegiatan fisik, tetapi juga proses mental yang kompleks dan sangat mendukung
pembelajaran bermakna.
Refleksi dan Implikasi
Di lingkungan pesantren, dimana kegiatan keilmuan berlangsung secara intensif melalui halaqah, majelis,
dan kuliah, budaya menulis perlu direvitalisasi sebagai bagian dari etos ilmiah. Bukan hanya mencatat materi, tetapi menulis ulang, menganalisis, hingga menyusun ulang dalam bentuk makalah dan karya ilmiah. Hal ini tidak hanya memperkuat penguasaan materi, tetapi juga mengembangkan cara berpikir sistematis dan kritis.
Maka dari itu, menulis bukan sekadar sarana bantu belajar, melainkan bagian integral dari proses belajar itu sendiri. Dalam lanskap keilmuan Islam maupun studi modern, menulis berfungsi sebagai jembatan antara informasi dan pemahaman yang mendalam. Pesantren sebagai pusat pendidikan keislaman, seyogianya menjadikan budaya menulis sebagai pilar utama dalam membangun generasi ilmuwan yang tidak hanya alim, tetapi juga sistematis, reflektif, dan produktif secara intelektual.