Ditulis oleh: Dr. K.H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si. (Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islamy)
Ada rasa bangga campur haru menyaksikan peluncuran dan peresmian Lembaga Wakaf Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung pada Selasa 17 Juni 2025 di Bale Sawala Gedung Rektorat Kampus Jatinangor. Sebagai alumni saya merasa bangga atas keputusan UNPAD—yang nota bene kampus negeri ‘umum’, bukan kampus ‘agama’, untuk membentuk Lembaga Kenazhiran Wakaf. Saya tahu, banyak kampus lain, yang masih gamang dan ragu-ragu untuk membentuk lembaga yang sama.
Saya terharu, karena teringat kenangan awal mula saya terlibat dalam kepengurusan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tahun 2013. Adalah almarhum Prof. Dr. Endang Saefullah Wiradipradja, S.H., L.L.M., Guru Besar Ilmu Hukum UNPAD—salah satu Penelaan/Penguji Naskah Disertasi saya pada Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, yang menghendaki saya menjadi sekretaris beliau dalam Kepengurusan pertama BWI Jawa Barat. Beliau tidak bergeming meskipun hal itu menyalahi aturan bahwa sekretaris BWI Perwakilan Provinsi adalah ex-officio Kepala Bidang Zakat Wakaf Kanwil Kementerian Agama. Belakangan saya tahu–dengan berbagai alasan dan pertimbangan, ternyata anomali tersebut terjadi juga pada beberapa kepengurusan Perwakilan BWI lainnya.
Selama mendampingi beliau dalam Kepengurusan BWI Jawa Barat saya banyak belajar tentang pengorbanan dalam mengemban amanah. Beliau menawarkan dan menyerahkan beberapa barang pribadinya yang dibutuhkan untuk ruangan sekretariat BWI di salah satu ruangan di lantai dua gedung PUSDAI Jawa Barat. Saya dan pengurus lainnya melakukan hal yang sama. Tidak jarang kami membawa sendiri makanan ringan untuk rapat atau menjamu tamu, kami juga kadang iuran dan saling menanggung uang transport untuk keperluan koordinasi ke Jakarta atau tugas mediasi sengketa wakaf di daerah. Saat itu, BWI Jawa Barat belum memiliki sumber pembiayaan tetap dan memadai untuk biaya operasional.
Suatu waktu saya mendengar beliau mengeluh, mempertanyakan dan menyesalkan pihak-pihak tertentu yang belum menunjukkan pemihakan dan komitmen nyata terhadap BWI dan perwakafan. Dari bahasa tubuhnya, saya dapat membaca, bahwa keluhan tersebut semacam ekspresi “unek-unek” beliau yang sudah lama terpendam. Saat ini, saya yakin, beliau tersenyum bahagia dan bangga menyaksikan UNPAD, tempatnya mengabdi sebagai pendidik selama puluhan tahun, telah memiliki Lembaga Wakaf, simbol komitmen sekaligus aksi nyata UNPAD dalam perwakafan.
Visi Besar Wakaf UNPAD
Ketika ditanya apa alasan UNPAD membentuk Lembaga Wakaf, Rektor UNPAD, Prof. Dr. Arief S Kartasismita., dr., Sp.M (K)., M.Kes., Ph.D., menjelaskan bahwa wakaf adalah bentuk filantropi strategis yang tidak habis pakai, manfaat dan pahalanya terus mengalir. Sejarah mencatat bahwa wakaf terbukti mampu menopang peradaban manusia dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Saat ini dan di masa depan UNPAD butuh mekanisme keuangan yang berkelanjutan dan berbasis nilai.
Lebih lanjut Rektor menjelaskan bahwa Wakaf UNPAD bertujuan untuk menghidupkan budaya filantropi kampus dalam rangka menjawab kesenjangan akses pendidikan dan kebutuhan masyarakat akan inovasi sosial. Melalui wakaf, UNPAD ingin mendukuang pendidikan inklusif melalui beasiswa, program afirmasi, dan penguatan akses Pendidikan bagi anak-anak bangsa yang membutuhkan. Wakaf UNPAD diharapkan mampu mendanai riset strategis dan inovasi sosial, membangun layanan publik, kesehatan, pembangunan desa, dan laboratorium lapangan. Dengan ikhtiar tersebut diharapkan UNPAD menjadi model universitas berbasis wakaf produktif di Indonesia.
Hati saya tergetar dan nyaris menitikkan air mata, haru dan bangga, ketika dalam salah satu bagian sambutannya Rektor mengatakan: “Wakaf UNPAD adalah ikhtiar suci untuk mengalirkan manfaat tak bertepi. Hari ini kita tanamkan niat untuk membangun kampus yang bukan hanya cerdas, tapi juga berkah. Langkah ini bukan hanya strategi institusi, tapi juga ikhtiar iman, umat harus jadi pelopor, bukan hanya penonton. Insya Allah, langkah awal yang kita lakukan hari ini, akan menjadi warisan besar untuk generasi mendatang. Ini bukan hanya tentang UNPAD, tapi tentang kita semua, tentang masa depan yang lebih adil dan beradab”.—Sungguh suatu ungkapan yang sangat religius, bermakna dan visioner, yang keluar dari seorang Rektor kampus ternama, ahli vitreoretina, genetika retina, dan retinopati diabetic.
Saya yakin, visi dan cita-cita besar Wakaf UNPAD bukan mimpi di siang bolong. Dengan kekuatan tidak kurang dari 400 ribu alumni, 40 ribu mahasiswa, dan ribuan dosen dan tenaga kependidikan, Lembaga Wakaf UNPAD yang digawangi oleh Prof. Maman Setiawan., SE., MT., Ph.D., Wakil Rektor Bidang Perencanaan Transformasi Digital, Keuangan, dan Pengelolaan Bisnis, dengan keilmuannya yang mumpuni, didukung oleh jejaring kerja dan kewenangan yang dimilikinya, ia akan mampu membuat berbagai terobosan dan inovasi dalam pengembangan Wakaf UNPAD.
Wakaf sebagai Lifestyle
Salah satu prasyarat penting untuk mendukung visi Lembaga Wakaf UNPAD adalah menjadikan wakaf sebagai gaya hidup (life style). Menjadikan wakaf sebagai gaya hidup berarti menjadikan wakaf sebagai ‘menu’ aktivitas harian, sehingga membentuk kesadaran spontan bahwa berwakaf bukan sebagai ‘beban ritual’ melainkan integrasi alami dalam rutinitas, seperti napas yang menyegarkan pikiran.
Berbagai teori tentang Gaya Hidup (lifestyle theory) hampir senada menyepakati bahwa gaya hidup seseorang antara lain dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti nilai atau norma yang diyakini, lingkungan, dan pembelajaran atau pelatihan. Gaya hidup berwakaf seperti yang dicontohkan oleh para sahabat yang mulia pada zaman Rasulullah Saw, antara lain termotivasi oleh semangat meraih kebajikan hakiki sebagaimana dijanjikan Allah Swt dalam al-Qur’an Surah Ali-Imran ayat 92 yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya”.
Keyakinan akan nilai tersebut menginspirasi para sahabat seperti Umar bin Khattab yang mewakafkan rumah dan kebunnya di Khaibar, Ustman bin ‘Affan yang mewakafkan sumur Raumah, Ali bin Abi Thalib juga mewakafkan hartanya di Yanbu dan Khaibar, Zubair bin Awwam mewakafkan rumahnya yang tersebar di Madinah, Mesir dan Makkah, Khalid bin Walid juga mewakafkan harta dan senjata perangnya, Anas bin Malik juga mewakafkan rumah di Madinah, istri-istri Rasulullah seperti Ummu Salamah, Shafiyah binti Hayi, dan Ummu Habibah juga ikut mewakafkan rumah-rumahnya di Madinah, tidak ketinggalan juga Fatimah az-Zahra putri tercinta Rasulullah saw juga mewakafkan hartanya untuk Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib. (BWI, 2020)
Keyakinan yang sama dipastikan dimiliki juga oleh Pangeran Aria Soeria Atmadja (Bupati Sumedang periode 1883 – 1919) yang pada tanggal 22 September 1912, disaksikan oleh 14 (empat belas) tokoh Pemuka Agama dan Pemerintahan, beliau mewakafkan hampir seluruh harta miliknya sebanyak 261 harta benda tidak bergerak dan harta bergerak, dengan membuat ikrar wakaf yang diberi nama “Ijeu Soepaja Djadi Tanda Kakoeatan” (ini supaya jadi kekuatan) (BWI, 2023).
Fondasi nilai yang menjadi landasan motivasi berwakaf sudah diterjemahkan dengan sangat baik oleh Rektor UNPAD bahwa dengan wakaf, UNPAD ingin mengalirkan manfaat tak bertepi, warisan untuk generasi mendatang, bukan hanya untuk UNPAD, tapi untuk semua, untuk masa depan yang lebih adil dan beradab. Dengan cara itu, UNPAD akan tumbuh menjadi kampus buka hanya cerdas, tapi juga berkah.
Fondasi nilai wakaf yang dirumuskan oleh UNPAD sangat relevan dengan prinsip inklusivitas wakaf bahwa kendatipun istilah dan konsep wakaf berasal dari Islam, namun “keberadaan” dan keterlibatan penganut agama dan kepercayaan lain dalam wakaf memiliki landasan yuridis dan argumen teologis yang kuat. Tujuan dan fungsi wakaf menurut Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum yang dimaksud tentu saja tidak terbatas bagi kalangan umat Islam saja.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama berkaitan dengan kebolehan umat agama lain untuk berwakaf dan menerima manfaat wakaf. Karena wakaf bukan hanya untuk manusia, diketahui dalam sejarah, bahkan hingga kini, ada beberapa aset wakaf yang sebagian hasil pengelolaannya dialokasikan untuk makanan burung, kucing, dan anjing. Salah satunya adalah aset wakaf Pasar Kozahan di Kota Bursa Turki.
Saat ini, program dan kerja-kerja perwakafan sudah bergerak pada berbagai macam isu, mulai dari perwujudan cita-cita tentang jaminan sosial (al-takaful al-ijtima’i) yang diamanahkan oleh al-Qur’an, yang kemudian diterjemahkan oleh negara melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Universal Coverage salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB, hingga program green waqf atau wakaf hijau, yakni pemanfaatan aset wakaf untuk mendukung kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekologi.
Wakaf bukan hanya soal ibadah, tetapi juga strategi pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Jika dikelola dengan baik, wakaf dapat berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan. Wakaf produktif, misalnya, dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat kecil dan mengurangi kemiskinan. Rumah sakit berbasis wakaf bisa memberikan layanan kesehatan bagi mereka yang kurang mampu, universitas berbasis wakaf dapat membuka akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak memiliki kesempatan belajar. Wakaf juga bisa menjadi modal bagi usaha mikro dan kecil, mendukung ekonomi berbasis syariah yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan kata lain, wakaf tidak lagi eksklusif menjadi urusan kelompok tertentu, tetapi menjadi kebiasaan kolektif yang dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja. Gerakan Indonesia Berwakaf (GIB) yang telah dicanangkan oleh BWI telah menekankan pentingnya pendekatan kolektif dalam membangun ekosistem wakaf. Wakaf bukan hanya urusan umat Islam, tetapi juga bagian dari kepentingan nasional.
Tugas Penting Lembaga Wakaf
Saat ini telah terjadi revolusi besar di berbagai sektor kehidupan. Fintech mengubah sistem perbankan, e-commerce mendisrupsi dunia ritel, dan blockchain merevolusi konsep transparansi dalam pengelolaan keuangan. Tentu saja wakaf tidak boleh tertinggal, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki potensi wakaf yang luar biasa. BWI memperkirakan potensi wakaf uang di Indonesia setidaknya mencapai Rp 180 triliun per tahun, pergerakan wakaf tidak bergerak (berupa tanah) juga perkembangannya tidak kurang dari 4 persen per tahun.
Saat ini, sebagian besar masyarakat masih berpikir bahwa wakaf masih eklsuif urusan “orang kaya” dan wakaf harus dalam bentuk aset fisik seperti tanah atau bangunan. Di sisi lain, sistem penghimpunan wakaf juga yang masih konvensional, tidak inklusif, belum transparan dan profesional. Akibatnya, potensi raksasa yang bernama wakaf masih “tertidur lelap”. Potensi wakaf uang Rp. 180 triliun per tahun masih dalam hitungan proyeksi di atas kertas, dan baru Rp. 3.2 triliun yang berhasil dikumpulkan. Dari 57.263 hektar tanah wakaf, tidak sedikit yang masih berupa “lahan tidur” yang belum termanfaatkan. Maka, tidak ada pilihan, untuk membangunkan “raksasa tidur” yang bernama wakaf, transformasi bukan sekadar opsi, melainkan satu keniscayaan.
Perjalanan menuju transformasi wakaf bukanlah sekadar impian. Teknologi telah membuka jalan bagi perubahan besar dalam cara memahami, mengelola, dan menyalurkan wakaf. Blockchain, misalnya, menawarkan transparansi yang tidak bisa ditawar. Dengan teknologi ini, setiap transaksi wakaf tercatat dalam sistem yang tidak bisa diubah atau dimanipulasi. Publik dapat melihat bagaimana dana wakaf digunakan secara real-time, sehingga tidak ada lagi celah bagi penyalahgunaan atau keraguan. Jika diterapkan secara luas, blockchain tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat (trust) terhadap wakaf, tetapi juga menjadikannya lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
Namun, transparansi saja tidak cukup. Perlu juga dipastikan bahwa wakaf dikelola dengan efektif dan efisien agar dampaknya dapat dirasakan lebih optimal. Di sinilah artificial intelligence dan big data berperan. Dengan analisis cerdas, dapat diidentifikasi sektor mana yang paling membutuhkan intervensi berbasis wakaf. Artificial intellgence (AI) dapat membaca pola donasi dan memprediksi tren, dan memastikan investasi wakaf dilakukan secara optimal untuk manfaat jangka panjang.
Di beberapa negara dan lembaga, model crowdfunding telah diterapkan dengan sukses dengan bantuan teknologi digital, khususnya financial technoloy. Dana kecil dari banyak orang dikumpulkan untuk mendanai proyek-proyek sosial kemanusiaan yang berdampak luas. Jika konsep ini secara masif diterapkan dalam perwakafan, maka wakaf akan menjadi lebih inklusif dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Bayangkan, jika 100 ribu saja dari 400 ribu alumni UNPAD serempak berwakaf (hanya) dengan satu klik melalui aplikasi mobile banking atau e-wallet. Tidak perlu menunggu menjadi miliarder untuk berwakaf; cukup Rp 100.000,- misalnya, setiap bulan, maka akan terkumpul Dana Abadi Wakaf UNPAD dari klaster alumni sebesar Rp. 10 milyard per bulan atau Rp. 120 milyard per tahun. Silahkan dihitung juga dari klaster dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan klaster lainnya.
Setiap event kebahagiaan yang diterima oleh civitas akademika UNPAD, misalnya wisuda, kenaikan pangkat, promosi jabatan, atau kebahagiaan lain, seperti pernikahan, diikuti dengan gerakan berwakaf—agar kebahagiaannya abadi, seperti abadinya wakaf—tentu akan menjadi tradisi dan gaya hidup yang bukan hanya “cerdas” tapi juga “berkah” dan manfaat, sekaligus menjadi penanda hidupnya budaya filantropi di lingkungan kampus UNPAD.
Untuk mewujudkan ‘imajinasi’ tersebut, tidak cukup hanya dengan retorika dan berpangku tangan. Transformasi wakaf memerlukan ekosistem yang kokoh, mulai dari basis nilai yang terinternalisasi secara kuat kepada seluruh civitas akademika, alumni, dan masyarakat luas, iklim yang kondusif, regulasi yang adaptif, hingga profesionalisme para pengelola wakaf.
Internalisasi nilai-nilai dasar wakaf UNPAD harus diterjemahkan ke dalam berbagai tema kajian, program, dan kegiatan. Berbagai terobosan dan aplikasi wakaf untuk menumbuhkan gaya hidup berwakaf harus dibangun, seperti aplikasi pelacak langkah (pedometer) yang memotivasi seseorang berolahraga ringan setiap hari. Platform aplikasi wakaf juga harus mampu memotivasi dan mempermudah seseorang untuk berwakaf dalam beberapa “klik” saja. Dashboard aplikasi wakaf harus mampu menampilkan laporan akumulasi donasi, proyek wakaf, dan audit keuangan, seperti aplikasi “pelacak tidur” yang mampu memantau durasi dan kualitas tidur seseorang, lalu menampilkan data secara real‑time. Transparansi dalam pengelolaan wakaf akan memperkuat kepercayaan (trust) masyarakat dan militansi para pewakaf (wakif)—seperti laporan “sleep tracker” yang mampu menumbuhkan komitmen seseorang untuk tidur teratur.
Memang, tidak semudah membalikkan tangan. Tapi kita benar-benar berada di titik persimpangan. Jika tetap terpaku pada pola dan paradigma lama, wakaf akan terus menjadi raksasa tidur (sleeping giant) yang terus mendengkur tidak termanfaatkan. Namun, jika kita berani berinovasi dan bertransformasi, wakaf akan mampu menjadi kekuatan nyata (real power) antara lain sebagai motor ekonomi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan yang mampu menggerakkan dan menopang peradaban. Insya Allah!
*) Alumni Ilmu Hukum UNPAD, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) BWI