
oleh: Muhamad Seha
Pemimpin yang baik adalah yang siap dipimpin dan memimpin. Semua dari kita adalah pemimpin, paling tidak memimpin diri sendiri. Sebagaimana maksud Allah swt menciptakan manusia adalah agar menjadi khalifah di muka bumi, “inni jaailun fil ardhi khalifah”. Jadi, sejatinya sedari dulu manusia memang sudah mengemban amanah sebagai khlalifah. Dalam literatur Indonesia khalifah itu berarti pemimpin, yakni orang yang memberikan contoh kebaikan bagi yang lainnya. Pemimpin yang baik selalu menuju perubahan. Perubahan yang memiliki nilai dan arah (vektor namanya) bukan sekadar berubah arah saja (skalar namanya). Kesuksesan dalam mencapainya ditentukan oleh keikhlasan dalam menjalaninya. Ikhlas bukan berarti melafalkan secara lantang dengan lafadz “Saya ikhlas”, tetapi ikhlas adalah bergerak sesuai porsi dan posisi tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun. Dalam hati yang ikhlas tidak ada kalkulasi kebaikan yang telah dikerjakan.
Mental seperti apa yang harus dihindari pemimpin?
Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki mental tahan terjang, bukan pecundang. Selayaknya pemimpin harus menjadi garda terdepan dalam segala langkah kehidupan. Terdapat empat hal yang mencirikan seorang pemimpin itu pecundang. Yakni blaming, justify, excuse, dan laxity. Keempat sifat tersebut menandakan seorang pecundang.
Pemimpin yang baik tidak mem-blaming atau menyalahkan orang lain ketika kalah, tidak merasa diri paling benar dengan dicari-cari dalil pembenarannya (justify), tidak pasrah pada keadaan tanpa usaha dan do’a (excuse), dan tidak loyo mental menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang (laxity)
Given status and Achieved status
Ibarat makanan yang siap santap, pemimpin bukanlah demikian. Pemimpin tidak terbentuk dari proses yang instan dan tanpa latihan. Pemimpin dibentuk karena ada daya dan upaya yang dikerahkan. Berdasarkan ada tidaknya daya dan upaya dalam mendapatkannya pemimpin terbagi dua, ada given status dan chief status.
Given status atau dalam konteks sosiologi dikenal assigned status adalah mendapatkan status sebagai pemimpin tanpa usaha. Artinya, status ini menjadi sebuah keniscayaan yang pasti diperoleh orang tersebut. Lain halnya dengan achieved status. Achieved status adalah memperoleh status sebagai pemimpin karena ada daya dan upaya yang dikerahkan.
Islam memandang setiap insan adalah pemimpin secara given status, sebagaimana dalam hadis dinyatakan “kullukum raain, wakullum masuulun ‘an raiyyatihi” , setiap dari kita adalah pemimpin dan karenanya akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dari itu, sebelum memimpin orang lain hendaknya kita memimpin diri sendiri. Memimpin diri sendiri dapat dilakukan dengan menjaga diri dari kemaksiatan, “quu anfusakum wa ahliykum naaraa”.
Islam juga mengakui achieved status, lanjutan dari hadis “kullukum raain, wakullum masuulun ‘an raiyyatihi” adalah pengakuan terhadapnya. Penguasa, kepala keluarga, dan budak yang memimpin harta tuannya. Oleh karena itu, pemimpin hendaknya mengemban amanah tersebut dengan penuh kesadaran. Kesadaran pemimpin harus etis dan fungsional, bukan materialistis dan transaksional.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemimpin tidak seperti makanan instan yang siap lahap tetapi butuh latihan yang bertahap-tahap. Achieved status tidak diberikan bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri untuk menjemput kesempatan. Ibnu Atha’illah menasehati kepada kita bahwa pertolongan dalam hal ini kesempatan untuk memimpin itu telah disesuaikan dengan besar kecilnya usaha yang kita upayakan (wurudul imdad bihasabil isti’dad”.Artinya, Allah tidak mungkin salah dalam memberikan pertolongan kepada hambanya (likulli maqaamin maqaalun, wa likulli maqaalin maqaamun).
Dalam hal yang sama, Ibnu Atha’illah juga menasihati bahwa syarat-syarat turunnya spiritual tergantung pada kesucian (hati), “syuruthul anwar ‘alaa hasbil athfaar”. Maksudnya, prestasi yang hebat itu tergantung pada kejernihan jiwa. Maka dari itu, seorang yang mengupayakan menjadi pemimpin secara achieved status dituntut untuk menyucikan hatinya. Ikhlas dalam mengemban amanah-amanah kecil agar diberikan amanah yang lebih besar. Usaha mencapai achieved status jangan hanya bersandar pada usaha fisik saja, tetapi harus ada usaha batin yakni do’a.
Tanpa dipungkiri setiap kita adalah pemimpin, khususnya bagi diri sendiri. Oleh karena itu, jadilah orang yang siap memimpin dan dipimpin. Jauhi blaming, justify, excuse, dan laxity agar mental kepemimpinan mudah terbentuk. Baik given status maupun achieved status keduanya akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dari itu, emban dengan kesungguhan dan kesadaran.