
Freepik.com
“Aku ada, aku bermakna bagi sesama.” Sebuah kata kata yang sering muncul di jendela suatu Pondok Pesantren yang ada di Bandung—Pondok Pesantren Mahasiswa Universal. Lantas apa sih maksudnya? Kemana arah tujuannya? Apakah hanya kata kata belaka?
“Aku ada” sepintas, kalimat ini terdengar sederhana, seperti yang pernah terucap dari seseorang yang baru saja menyadari dirinya—Rene Descartes dengan cogito ergo sum. Namun di balik kata-kata itu bergetar riak yang dalam, seperti ombak sunyi yang menghantam tebing eksistensi. Di sini, maka filsafat eksistensialisme membuka pintu, mengundang kita membungkuk, tidak hanya untuk menanyakan siapa diri kita, tetapi untuk apa kita hidup.
Jean Paul Sartre berpikir di bukunya yang berjudul ‘Eksistensialisme adalah Humanisme’, memperkenalkan ke panggung modern, “eksistensi datang sebelum esensi”, dengan tegas. Manusia tidak dilahirkan dengan cetak biru. Ia hadir lebih dahulu, lalu menulis esensinya sendiri lewat keputusan-keputusan yang ia ambil.
Dalam kebebasan itulah manusia menjadi arsitek dari maknanya sendiri—ini merupakan bentuk kebebasan radikal, tapi kebebasan ini tidak datang sendirian. Ia membawa serta tanggung jawab, tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi terhadap seluruh umat manusia.
Artinya, makna “tidak diasuh di jepitan langit, penuh misteri di balik tirai takdir”. Makna ini “diciptakan” sesuai jumlah dari benang kehendak dan tindakan, relasi perilaku terkait manusia. Karena manusia “bukanlah sebuah pulau” dan dia harus merasakan makna kehidupan secara langsung dalam “jalaran” yang terus berputar serta dalam sejumlah nilai dan kodrat yang diberikan kepadanya.
Maka ungkapan “Aku ada, aku bermakna bagi sesama” bukan sekadar pernyataan eksistensial, tapi sebuah komitmen moral. Keberadaanku tidak netral. Ia menggores dan menggurat dalam kehidupan orang lain, entah aku sadari atau tidak.
Pilihan-pilihanku menjalar, menimbulkan riak yang tak selalu bisa kuperkirakan. Saat aku berkata ingin bermakna, aku sedang mengakui bahwa hidup ini bukan milikku seorang. Ia adalah percakapan yang lebih luas, tempat “aku” menemukan utuhnya hanya saat hadir bersama “engkau.”
Poin intinya adalah adanya jembatan yang dapat menghubungkan eksistensialisme dengan etika sosial agama Islam. Manusia, dalam perspektif Islam, adalah khalifah. Ia bukanlah penguasa, tetapi ia adalah pemelihara dan penjaga bumi.
Manusia bukan untuk dirinya sendiri. Dalam kajian guru kami, Abi Tatang Astarudin menyampaikan, makna manusia tampil melalui tiga wajah: empatik, tasamuh, dan ta’awun.
Empatik bukan sekadar rasa yang diam di dada. Ia mengalir lewat wajah yang ramah, sapa yang ringan, mata yang memandang tanpa menghakimi.
Tasamuh, atau toleransi, tidak sekadar menghindari gesekan, tetapi hadir untuk memastikan bahwa semua merasa diakui dan aman dalam keberadaannya.
Ta’awun, tolong-menolong, bukan ritual insidental, tapi budaya yang tumbuh dalam kepekaan harian, dalam hal kecil yang dilakukan dengan cinta besar.
Yang menarik, ketiganya tidak harus ditampilkan dalam bentuk-bentuk besar. Kadang cukup dengan senyuman yang tidak ditunda. Tidak semua perbedaan perlu diperdebatkan, sebagian cukup dihormati dalam diam yang mengandung pengertian. Tidak semua luka harus disembuhkan oleh kita, tapi setidaknya jangan ditambah dengan luka baru.
Seseorang tidak perlu menjadi luar biasa untuk bermakna. Ia cukup hadir, mendengarkan, membantu, dan menjadi lentera kecil di tengah redupnya cahaya kehidupan orang lain.
Dalam setiap senyuman yang ia tebarkan, dalam setiap tangan yang ia ulurkan, di sanalah makna itu tumbuh. Karena makna itulah yang menjadikan eksistensi kita bernilai, karena makna bukanlah kemewahan intelektual, ia adalah panggilan nurani.
Bila aku ada, maka aku dipanggil untuk bermakna. Bila aku sadar, maka aku wajib terlibat. Hidup bukan tempat bagi yang ingin bebas tanpa jejak. Ia adalah panggung, tempat kita menari dengan kehendak, namun tak pernah sendiri, sebab setiap langkah menggetarkan kehidupan di sekitar.
“Aku ada bukan karena ingin hidup selamanya, tetapi karena ingin hidupku bermakna bagi sesama, walaupun hanya sekejap.”Dan jika itu tercapai, maka tugasku sebagai manusia telah dimulai dan barangkali, telah terpenuhi.
Bandung, 28 Mei 2025
Penulis: Muhamad Sholah