
Ruang kelas siang itu terasa bgt hangat. Saya berdiri di depan papan tulis. Bukan hanya utk mengajar, tapi utk merasakan detak zaman dari balik wajah² muda itu. Ruang kelas, bagi saya, bukan semata tempat duduk dan presentasi. Kelas adalah lanskap batin, tempat kita belajar jadi manusia. Maka saya bertanya, “Siapa yg kenal AI, ChatGPT, Perplexity, Grok, Gemini, dan Deep Seek?” Sebuah pertanyaan yg sejujurnya dah basi. Mereka semua tertawa. Tentu mereka kenal. Mereka lahir dan tumbuh bersama mesin yg bisa berpikir cepat itu.
Lalu saya tanya lagi, “Siapa yg pakai AI buat ngerjain tugas?” Tawa makin riuh. Hampir semua tangan terangkat. Tak ada rasa bersalah. Tak ada yg sembunyi². Yg ada: keterbukaan. Seolah AI adalah teman satu geng yg selalu siap bantu. Di situlah saya sadar: pertemuan manusia dan mesin bukan lg soal ‘nanti’, tapi sdh ‘kini’. Bukan lg soal teknologi yg datang, tapi soal kesadaran yg tertinggal.
Kita sedang hidup dlm episteme baru, yg dlm pengertian Foucault ialah kerangka pengetahuan tak kasatmata yg menentukan cara kita mendefinisikan dunia. Dulu, kebenaran ditopang oleh guru, buku, dan nalar linier. Skrg, kebenaran bisa muncul dari algoritma, disusun oleh statistik, dan diklaim sahih oleh mesin. Tapi pertanyaannya: siapa yg mengatur logika di balik itu semua?
Di tengah gemuruh kemudahan itu, kita sedang menghadapi paradoks. Di satu sisi, peserta didik makin cepat menyelesaikan tugas, makin jarang merasa tersesat dalam proses berpikir. Akal manusia dipercepat, tapi kesadaran bisa tercecer. Proses belajar yg seharusnya mengguncang dan menggugah, malah berubah jadi konsumsi cepat. Seperti makanan instan: kenyang, tapi tak selalu menyehatkan.
Maka, kita perlu mengajak peserta didik meregangkan ruang kognitifnya kembali. Bukan dg memusuhi AI, tapi menjadikannya cermin reflektif. Mulailah dari hal sederhana: saat membuat esai, minta mereka tandai mana yg dihasilkan oleh AI, mana yg merupakan buah pikir mereka sendiri. Di titik itu, kita sedang menolak tunduk pada episteme baru yg ingin menghapus jejak proses, dan justru membangun kesadaran ttg bgmn pengetahuan itu dikonstruksi.
Peran guru pun bergeser. Bukan lagi sbg pemegang kebenaran, tapi sbg kurator diskuraua, penjaga ruang diskusi. Ruang kelas hrs jd semacam lab episteme, ialah tempat kita mempertanyakan cara berpikir, bukan semata mengisi kekosongan jawaban. Guru menjadi penjaga gerbang metakognisi: membuat siswa gak hanya tahu apa, tapi sadar bgmn dan mengapa ia tahu.
Etika digital jadi pusat kurikulum, yg melampaui perkara boleh atau tidak menyalin, tapi soal bgmn algoritma bekerja, siapa yg membentuknya, dan kepentingan siapa yg sedang dilayani. Foucault mengingatkan bhw kuasa gak melulu menindas. Kuasa juga memproduksi pengetahuan. Maka, siswa perlu diajak menelisik: dlm setiap jawaban AI, ada kuasa yg membentuk batas apa yg dianggap bisa diketahui.
Inilah benturan antara episteme lama dan episteme baru. Dulu, belajar adalah menghafal naskah yg sdh disahkan oleh otoritas pendidikan. Kini, kita diajak menyusun naskah bersama mesin, dg segala bias dan batasnya. Jika kita menyerah pd kenyamanan teknologi tanpa menelisik logika yg mengaturnya, maka kita cuma jadi objek pengetahuan, bukan subjek yg berpikir.
Dan, pada akhirnya, pendidikan bukan soal siapa plg cepat menekan tombol “enter”, tapi siapa yg plg tekun menggugat, menyusun ulang, dan mencari makna dari serpihan² diskursus. Ketika ada siswa yg berkata, “AI bantu saya, tapi saya tetap berpikir sendiri,” di situlah kita melihat secercah kesadaran. Sebuah kesadaran yg menolak menjadi pasif di tengah gelombang tsunami informasi.
ASEPISTEMIK
Menenun Episteme Baru yg Membebaskan