Image Source: Freepik.com
Oleh: Syiva Naila Hamda
Bagian 1: Di Titik Paling Gelap
Di ujung malam yang paling diam, aku duduk sendiri bersama bayang-bayang, di antara riuh dunia yang telah letih kujunjung, kulihat langit…bukan karena indahnya bintang, tapi karena aku tak punya tempat lain. untuk menundukkan wajah penuh luka
Aku, anak dari jalan yang bengkok, pernah mengejar cahaya palsu. Yang hanya meninggalkan abu dalam dada. Tertawa palsu, teman palsu, tujuan palsu, semua menyamar menjadi makna, hingga aku tak tahu lagi siapa diriku. selain rongsokan waktu yang kehilangan arah.
Ayah menatapku tak berkata, Ibu menangis di ruang doa, dan aku hanya bisa memalingkan wajah, seolah malu menjadi anak manusia.
Tapi langit tak pernah memalingkan wajahnya. Satu malam, tanpa suara, tanpa paksa, hanya hadir… seperti cahaya yang tidak butuh alasan.
Dalam mimpi yang terasa lebih nyata dari hidup. kulihat huruf-huruf jatuh dari langit. bukan hujan,bukan kilat, tapi ayat-ayat yang menetes seperti embun. ke dalam hatiku yang lama gersang.
“Bangunlah, wahai jiwa yang berserakan. Ada rumah yang menunggumu. tempat ilmu tumbuh, tempat sujud berakar.”