Kontemplasi Santri Oleh Muhammad Ismail Attarmidzi
Pagi Sabtu itu hadir pelan, seperti embun yang ragu-ragu jatuh ke tanah. Udara Bandung masih dingin ketika para santri sudah duduk rapi, menanti untaian hikmah yang akan disampaikan Abi Tatang. Suasana Pondok Pesantren Mahasiswa Universal begitu tenang; seolah seluruh alam turut menundukkan kepala, bersiap mendengarkan ilmu.
Abi membuka pengajian dengan doa yang menyapu hati. Setiap amin para santri bergema lembut, mengalun dengan ritme yang menenangkan jiwa. Baru setelah itu beliau memulai pembahasannya dengan satu hal sederhana namun sarat makna: sampah.
“Sekecil apa pun perbuatan kita,” ucap Abi, “ada pertanggungjawaban di hadapan Allah. Termasuk hal yang sering diremehkan: membuang sampah.”Para santri saling bertukar pandang. Betapa sering hal kecil dianggap sepele, padahal justru di situlah letak kedewasaan seseorang. Kebersihan bukan hanya soal lingkungan; ia adalah cermin hati seseorang.
Namun kajian tidak berhenti di situ. Dengan nada yang tenang dan penuh pengalaman, Abi kemudian menyampaikan kisah pertemuannya dengan Menteri Agama dalam kajian kelembagaan pesantren di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di sana, sang menteri mengutarakan pandangan yang membuat banyak orang merenung lama.
“Pesantren itu lebih unggul dari kampus,” kata beliau.“Di kampus yang dibahas hanyalah apa yang terlihat. Tapi di pesantren, yang dibicarakan justru apa yang berada di balik yang terlihat dimensi iman, penghambaan, kepekaan rasa.
”Abi mengulang pesan itu pagi ini. Dan kami, para santri, langsung merasakan benarnya ucapan tersebut. Kampus, betapa pun hebatnya, banyak bertumpu pada kognitif: teks, dosen, ruang kelas. Sementara pesantren melatih lebih dari itu metakognisi: kemampuan memahami diri, memahami makna, memahami suara halus yang hanya terdengar ketika hati jernih.Di pesantren, mimpi pun bisa menjadi ilmu. Abi mencontohkan kisah Nabi Ibrahim yang menerima perintah melalui mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail. Logika di kampus mungkin akan bertanya, “Apa alasannya?”Tapi pesantren mengajak untuk bertanya dengan cara lain: “Apa hikmah di baliknya?”Itulah kepekaan rasa yang dibangun perlahan, dari subuh yang dingin, dari dzikir yang berulang, dari kesederhanaan hidup di pondok dan bahkan dari membuang sampah pada tempatnya.Sebab di pesantren, semua hal bisa menjadi guru.Termasuk hal paling kecil.Termasuk hal yang tak pernah diajarkan dalam kurikulum formal.Abi menutup kajiannya dengan pesan yang membekas kuat di dada:“Kita ini bukan hanya menuntut ilmu. Kita sedang ditempa. Agar bisa melihat lebih jauh dari mata, dan merasakan lebih dalam dari pikiran.”Langit Bandung mulai terang ketika kajian usai. Para santri beranjak perlahan, membawa ilmunya masing-masing. Ada yang mengingat tentang tanggung jawab kecil, ada yang merenungi keunggulan pesantren, ada yang tersenyum sambil membayangkan luasnya ilmu Allah yang tak terlihat mata.Namun satu hal terasa sama: pagi itu, setiap santri pulang ke Kobong masing masing dengan hati yang sedikit lebih bersih dan mungkin, dengan tekad baru untuk tidak meremehkan hal sekecil apa pun, bahkan selembar sampah
