HIJRAH: Dari Dunia yang Menjebak Menuju Jiwa yang Merdeka

Oleh: Asep Mulyana (Analis Pelayanan Publik Kantor Kemenag Kota Banjar. Dewan Asatid Pondok Pesantren Mahasiswa Universal)

Di tengah ingar-bingar perayaan Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram 1447 H, saya merenung sebagai seorang anak manusia yang kebetulan diberi amanah sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang keagamaan. Hijrah, dalam tafsir terdalamnya, bukan hanya perpindahan geografis, tapi gerakan batin. Ia adalah panggilan untuk keluar dari jebakan dunia yang menyesatkan: dari ego ke rendah hati, dari kerakusan ke keikhlasan, dari cinta dunia ke cinta kebenaran.

Kita hidup di zaman ketika orientasi pada uang, jabatan, dan simbol materi seakan menjadi agama baru. Bahkan dalam sistem pelayanan publik yang semestinya bersih dan ikhlas, masih ada ruang gelap tempat korupsi bersarang, pungutan liar menjadi budaya, dan amal ibadah tergelincir jadi ladang komoditas. Bukankah ini saatnya kita semua berhijrah–secara maknawi–dari mentalitas “mengambil” ke semangat “memberi”? Dari birokrasi yang melayani diri sendiri ke birokrasi yg melayani umat.

Hijrah bukan hanya nostalgia atas peristiwa masa lalu di gurun pasir. Ia adalah keberanian untuk menolak menjadi bagian dari sistem yg korup, meski kebanyakan orang melakukannya. Ia adalah pilihan untuk jujur meski pahit, ikhlas meski tak populer, dan berani mengatakan tidak pada “uang pelicin” yg mengotori amanah. Sebab setiap rupiah yg diambil tidak pada tempatnya, adalah tangis rakyat yang tak terdengar. Dan setiap keputusan yang dikorupsi, adalah masa depan anak bangsa yang tercuri diam-diam.

Hijrah menuntut kita kembali pada niat awal: untuk apa kita bekerja, untuk siapa kita berjuang? Jika jawaban jujurnya adalah demi gaji, tunjangan, dan kekuasaan, maka hijrah belum dimulai. Tapi jika hati kita bergerak–meski perlahan–menuju keikhlasan, keadilan, dan kebermanfaatan, maka secercah cahaya hijrah sudah mulai menyala di sudut hati yang gelap. Dan dari situlah perubahan sejati bisa tumbuh, pelan tapi pasti.

Maka tahun baru ini, bukan soal kalender yang berganti, tapi soal keberanian menanggalkan baju duniawi yang terlalu ketat. Kita diajak berhijrah: dari sistem yang menumpuk dosa kolektif menjadi jalan pengabdian yang penuh cahaya. Semoga lentera hijrah ini tidak padam, dan terus menuntun kita menjadi insan yang merdeka, dari dunia yang memenjara, menuju jiwa yg bertakwa.

Selamat Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram 1447H!