Ketenangan di Balik Mendung: Awal Terawih di Pondok Pesantren Mahasiswa Universal

Langit malam di Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU) tampak mendung. Awan-awan kelabu menggantung berat, seolah ikut merenungi makna malam pertama Ramadan. Udara dingin menyelinap di antara bilik-bilik kobong, menusuk hingga ke tulang. Namun, langkah para santri tetap tegap. Dengan sarung terlipat rapi dan peci terpasang di kepala, mereka berduyun-duyun menuju majelis untuk melaksanakan sholat tarawih pertama.

Mendung di langit tak mengurangi semangat mereka. Di dalam majelis, suasana terasa lebih syahdu. Hanya suara pelan dari langkah kaki yang terdengar, bercampur dengan bisikan doa-doa lirih. Sebelum sholat dimulai, Ustaz Dikdik Solehudin menyampaikan kultum singkat. Kata-katanya seperti cahaya di balik awan, menembus hati yang bersiap menjalani Ramadan. “Tarawih bukan hanya tentang banyaknya rakaat,” ucapnya lembut, “tapi tentang bagaimana hati kita berjalan lebih dekat kepada Allah.” Para santri terdiam, merenungi setiap kata yang terucap.

Sholat pun dimulai. Takbir pertama menggema, memenuhi ruangan dengan getaran ketundukan. Dua rakaat demi dua rakaat, mereka berdiri dalam barisan rapi. Ada yang khusyuk dalam doa, ada yang sesekali mengusap wajahnya yang mulai basah oleh keringat. Seorang santri baru tampak menggigil. Mungkin karena dinginnya malam, atau mungkin karena ia mulai merasakan beban spiritual Ramadan yang sesungguhnya. Namun, ia bertahan, mengikuti setiap gerakan imam dengan penuh kesungguhan.

Di luar, angin berhembus lebih kencang, menyapu dedaunan kering yang berserakan di halaman. Awan-awan masih menggantung pekat, seakan enggan beranjak. Namun, di dalam majelis, para santri terus bersujud, memanjatkan doa-doa panjang. Wajah-wajah mereka memancarkan ketulusan sebuah pemandangan yang menghangatkan hati di tengah dinginnya malam.

Ketika salam terakhir diucapkan, suasana tetap hening. Tak ada tepuk tangan, tak ada sorak sorai, hanya hati yang bergetar dalam ketenangan. Seperti mendung yang perlahan beringsut, jiwa-jiwa yang semula penuh beban kini terasa lebih ringan. Ramadan telah tiba, dan dengan tarawih pertama ini, mereka memulai perjalanan panjang menuju cahaya.

Para santri beranjak pulang ke kobong masing-masing. Beberapa masih menyempatkan diri untuk berdiskusi kecil tentang kultum tadi, yang lainnya berjalan sambil sesekali menarik sarungnya yang hampir terlepas. Malam kian larut, namun di dalam hati mereka, ada sesuatu yang terus menyala semangat untuk menjalani Ramadan dengan penuh keikhlasan.

Langit mungkin tetap mendung malam ini, tetapi di dalam hati para santri, ada cahaya yang perlahan menyala. Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan perjalanan sunyi menuju kebeningan jiwa.

Penulis: Alif dan Aang

Redaktur: Muhamad Maksugi