
Penulis: Muhamad Sholah Abdul Qudus
Mencari ilmu adalah kewajiban suci bagi setiap insan beriman—baik yang berbalut jubah laki-laki maupun yang berselendang keanggunan perempuan. Namun jalan ilmu bukan sekadar menapaki buku dan mendengar suara guru, ia memerlukan sesuatu yang lebih sunyi, lebih dalam: niat yang jernih, kesungguhan yang tak putus, kesabaran yang menetes seperti embun, petunjuk dari guru yang jujur, bekal yang cukup, dan waktu yang panjang, seperti musim yang menunggu panen. Seperti yang telah dikatakan dalam kitab Ta’limul Muta’alim.
Namun terkadang, semua itu telah kita lakukan. Kita membaca, mencatat, menghafal, bahkan mendiskusikan. Kita duduk di hadapan guru, menunduk, mendengar, dan berharap.
Tapi tetap saja…
Apa yang kita pelajari tak juga menjadi cahaya dalam benak. Ilmu yang telah singgah, tiba-tiba lenyap, seperti kabut pagi yang menghilang tanpa pamit. Kita pun bertanya dalam diam: “Kenapa aku selalu lupa? Kenapa semuanya menguap begitu saja?”
Maka di sinilah saatnya kita berhenti sejenak, merebahkan diri dalam pelukan refleksi. Mungkin, bukan karena kita tak mampu. Tapi karena kita lupa, bahwa ilmu sejatinya adalah nur–cahaya. Dan cahaya hanya menetap pada tempat yang bersih.
Ilmu adalah nur, dan setiap makhluk hidup adalah manifestasi dari Nur Al-Anwar—Cahaya yang Paling Sempurna, yang memancar tanpa henti dari Sang Sumber Keberadaan.
Suhrawardi, sang filsuf dari cahaya, pernah membisikkan dalam Hikmah Al-Isyraq: bahwa seluruh jagat raya, termasuk debu terkecil hingga bintang yang jauh,
Semuanya berasal dari pancaran cahaya Ilahi termasuk ilmu. Maka, jika ilmu adalah pancaran cahaya dan kita tak sanggup menahannya, barangkali bukan karena cahaya itu tak hadir, tapi karena jendela hati kita terlalu berdebu.
Sebab sesungguhnya, ada banyak hal yang kerap kali menjadi hijab–penghalang antara kita dan ilmu. Bukan karena ilmu itu enggan datang, tapi karena kita yang belum sanggup menyambutnya.
Abi Tatang Astarudin selaku guru kami di Pondok Pesantren Universal pernah menyampaikan dalam kajiannya perihal sebab sebab ilmu yang tidak mau menetap pada diri seseorang:
Pertama; hati yang sibuk dengan dunia—hubbudunya menjadi tirai paling tebal. Bila hati telah dipenuhi cinta berlebih pada hal-hal fana, maka cahaya yang datang dari langit pun akan terpantul, bukan meresap.
Kedua; dosa-dosa kecil yang dianggap remeh namun terus menerus dilakukan—seperti ghaflah (lalai), ghibah (menggunjing), dan riya (pamer amal)—dapat memadamkan lentera batin. Dalam hal ini, Imam Syafi’i pun pernah mengadu kepada gurunya, Waki’, tentang betapa cepatnya ia lupa. Sang guru menjawab: “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah takkan diberikan kepada seseorang yang melakukan maksiat.”
Ketiga; belajar dengan niat yang salah. Bila ilmu dicari semata-mata demi gelar, kehormatan, atau bahkan perdebatan, maka sesungguhnya kita hanya menggali kubur untuk keletihan sendiri. Sebab ilmu yang sejati tidak bisa dibeli dengan ambisi, melainkan dianugerahkan kepada yang tunduk dan bersih hatinya.
Keempat; terlalu banyak ‘makan’ informasi tanpa mencerna—ini penyakit zaman kita. Di mana buku dibaca hanya untuk dikutip, bukan untuk direnungi. Di mana guru didengar hanya untuk dikoreksi, bukan untuk diteladani. Ilmu pun menjadi serpihan-serpihan kaca: banyak, tapi tak utuh. Terlihat berkilau, namun melukai.
Kelima; kurangnya mujahadah—perjuangan ruhani dalam menjaga rutinitas belajar. Sebab ilmu bukan datang dengan instan, ia memerlukan istiqamah seperti tetes air yang terus-menerus hingga mengikis batu.
Maka dari itu, mari kita tundukkan kepala dan pulangkan jiwa–bertaubat, menyusuri jalan pulang menuju Sang Cahaya. Sebab sejatinya, kita ini bukan sekadar debu yang berjalan, kita adalah percikan cahaya-Nya, manifestasi dari Nur Ilahi yang tak pernah padam.
Karena sejatinya, semakin jauh kita melangkah dari Sumber Cahaya, semakin redup pula nyala dalam diri. Seperti pelita yang kehabisan minyak; seperti bulan yang tertutup awan—ia tetap ada, tapi cahayanya tak sampai pada bumi. Maka dekatilah Dia, dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang, agar cahaya itu kembali memancar dari dalam bukan sekadar menerangi akal, tetapi juga menghangatkan ruh, menuntun langkah kita dalam labirin kehidupan.